Oleh: Ari Sisworo, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UMSU dan Pecinta Sepakbola

Bangkrut Bin Pailit, PSDS Dijual Rp5 Miliar?

MEDANSPORT.ID-Deliserdang- Kabar yang menyebutkan tim kebanggaan masyarakat Deli Serdang, PSDS mau dijual kepada siapa pun yang sanggup membelinya sudah tersebar luas.

Kesulitan finansial menjadi latar belakangnya. Persoalan klasik di kancah persepakbolaan Indonesia. Bangkrut bin pailit.

Kalau bangkrut atau pailit, itu pun mesti pakai skema. Bukan asal-asalan. Bangkrut itu total tak bisa lagi berkembang, sampai gulung tikar. Pailit, mesti ada keputusan Pengadilan Niaga. Bila ini (pailit) yang terjadi, masih bisa diselamatkan dengan pengelolaan diambil pihak lain dan diawasi Pengadilan Niaga.

Perusahaan (PSDS) itu juga masih punya hak mengajukan penundaan pembayaran utang. Dan yang pasti, pailit ini bisa terjadi pada perusahaan dalam kondisi baik-baik saja, namun ada pengelolaan keuangan yang tidak sehat di perusahaan itu. Ini juga harus dipertegas!

Tapi apa pun itu, "kabar duka" tim beralias Traktor Kuning ini membuat sedih banyak pihak. Terutama, para pecinta sejati PSDS. Apa boleh buat?

Topik tak kalah menariknya juga adalah munculnya keanehan dari berita yang berkembang di khalayak ramai. Dari satu narasumber yang sama. Manajer PSDS, Herman Sagita atau yang karib disapa Cinwa.

Pada salah satu petikan wawancaranya yang terbit di satu media, disebutkan saham PSDS akan dijual 50 persen atau keseluruhan (100 persen saham). Tapi, di media lainnya dikatakan, mau dijual Rp5 miliar untuk 100 persen sahamnya. Mana yang benar?

Manajemen yang salah memberikan keterangan atau wartawannya salah mengutip pernyataan?

Kalau statemen akan dijual sahamnya 50 sampai 100 persen masih realistis. Masih bisa diterima akal sehat, kata Rocky Gerung. Tapi, jika dijual Rp5 miliar untuk 100 persen saham, ini luar biasa. Luar biasa murahnya. Semurah itukah?

Bayangkan saja, untuk biaya pertahun, PSDS membutuhkan cash money minimal Rp10 miliar ketika liga bergulir. Jika hanya dijual Rp5 miliar, berarti setengahnya dari biaya operasional selama setahun tim yang lahir di era perserikatan itu. It's not logic.

Apalagi, ada catatan penting yang perlu digarisbawahi. Pembeli PSDS tidak diperkenankan membuang identitas yang melekat, baik nama, homebase (kandang) serta julukannya. Beruntung betul si empunya PSDS nantinya. Sudahlah murah, tak perlu lagi memperkenalkan diri.

Tidak seperti Rans FC milik Raffi Ahmad. Pemilik Rans Entertainment dengan jumlah kekayaan sebesar Rp400 miliar berdasarkan survei Cydem Internasional Research tahun 2023 ini harus "berdarah-darah" demi menggalang basis suporter.

Berpindah-pindah markas. Teranyar, klub yang ditukangi allenatore dari Portugal, Eduardo Almeida itu sekarang berkandang di Stadion Maguwoharjo. Punyanya PS Sleman. Rans FC juga bolak-balik ganti nama.

Sebelas-12 dengan FC Bekasi. Kepunyaan artis dan Youtuber terkenal, Atta Halilintar. Berkolaborasi dengan Putra Siregar, owner PS Store dan PS Glow, Atta juga mengcopy-paste apa yang dilakukan Raffi Ahmad.

Lebih Profesional

Bila nantinya PSDS benar-benar dibeli, ada baiknya pemilik barunya dari pihak swasta. Kenapa? Supaya jadi tim profesional. Profesional dalam manajemen dan pengelolaan, profesional rekrutmen, profesional dalam pembinaa usia muda, profesional dalam penyediaan dan pengadaan infrastruktur, profesional dalam segala hal.

Coba lihat, prestasi PSDS selama ini. Bahkan, dalam beberapa tahun ke belakang, PSDS cuma mampu berkutat di Liga 3. Beranjak ke kasta setingkat lebih tinggi saja begitu syulit. Sesyulit memasukkan benang dalam jarum. Apalagi, yang memasukkan benang dalam jarum itu adalah orangtua. Dengan mata yang sudah mulai kabur.

Mestinya, berkaca dari tim-tim lain. Tak usah mengambil contoh dari luar, Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja atau dari eropa. Bali United saja. Bagaimana mereka bertransformasi. Menjadi klub paling profesional di Indonesia. Dan sekarang, tim-tim lain (di Liga 1), sudah banyak yang menduplikat apa yang dilakukan klub kebanggaan rakyat Bali itu.

Persija, Persib, PSIS, Persebaya, Borneo (dulu Persisam Putra Samarinda) sudah berjalan ke arah sana. Yang notabene tim-tim besar ini dulu adalah rivalnya PSDS, baik di era perserikatan, Galatama, dan periode-periode awal Liga Indonesia.

Mereka sudah tidak lagi memakai anggaran dari pemerintah, manajemen tim dan keuangan bagus, fasilitas latihan dan pertandingan oke, sudah punya akademi pembinaan usia muda, dan banyak lagi yang lainnya.

Karena mereka sudah sadar, football is business. Item-item itulah yang menjadi penunjang majunya sebuah tim. Semakin maju sebuah klub, semakin punya daya jual. Pundi-pundi dari sponsor pun antre.

Sudah saatnya jalur itu juga yang dipilih PSDS. Kendati dikendalikan swasta, toh identitas ke-Deli Serdang-annya masih tetap terjaga.

Swasta menjadi sebuah keniscayaan.