*Lidya Titaley

Coba Menjelajah Waktu Dan Mengenang Kisah Sukses Si Ratu Atletik Sumut

Ketua PASI Laksamana Madya Suparno, mengalungkan medali emas kepada Lidya Titaley,sebagai pemenang nomor lari 400 m,PON VIII Jakarta 1973. (dokumenter)

MEDANSPORT.ID- MEMORI ATLET -- Sorak Sorai kemenangan dan senandung dukungan kerap mewarnai hari-harinya di atas lintasan lari. Bahkan, tak jarang dahulunya wanita berambut ikal ini selalu mendapatkan pujian.

Kecepatannya melahap lintasan jarak 400 meter menasbihkan dirinya sebagai seorang atlet perempuan yang paling bersinar di Sumut kala itu.

Bahkan, wanita bernama lengkap Lidya Titaley ini menjadi pionir peraih emas pertama Sumut untuk cabang olahraga lari jarak 400 meter dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang sempat puasa gelar selama 20 tahun lamanya.

Tak sampai di situ, wanita manis berdarah Ambon itu juga menorehkan sejumlah prestasi membanggakan di kancah kejuaraan nasional. Gelar ratu atletik pun disematkan awak jurnalis kepadanya.

Bagaimana perjalanan karir wanita yang lahir dan besar di Kota Medan ini? Dan kebanggaan apa saja yang telah ditorehkannya? Lidya pun berusaha menjelajahi memori indah masa lalunya.

Disambangi Medansport.id, di kediamannya beberapa waktu lalu, Lidya turut membagi kisahnya.

Wanita kelahiran 13 Maret 1953 itu mengaku, awal karirnya sebagai seorang pelari terbentuk dari proses panjang dan penuh perjuangan. Bukan kebetulan, melainkan melalui kerja keras.

Sejak kecil, ayah kandungnya Julius A.Titaley membawa Linda ke Stadion Teladan untuk mengitari lintasan lari yang berada di sisi lapangan. Tak pernah lelah atau bosan, Linda tetap mengikuti arahan sang ayah yang juga seorang pelatih beladiri Jiu Jitsu itu.

Besar di tengah keluarga atlet, tak terlalu sulit menemukan bakatnya. Karirnya pun diawali selepas dirinya menamatkan Sekolah Dasar.

Sejumlah kejuaraan lari tingkat daerah diikuti. Beberapa prestasi berhasil diraih. Hingga akhirnya atau tepat 1966, Linda menembus tingkat nasional pertamanya. Sayang, kala itu PON tak jadi dihelat akibat gejolak PKI. Lidya terpaksa bersabar menahan gejolak semangatnya yang ingin membawa kebanggaan bagi tim Sumatera Utara.

Kesempatan itu pun hadir pada ajang PON VII 1969. Ajang yang dahulunya dihelat tiga tahunan dan berubah menjadi even empat tahunan itu kembali bergelora. Lidya coba membuktikan kemampuannya dan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun.

Sayang, Lidya yang awalnya turun di cabang olahraga lari gawang hanya berhasil menembus babak semifinal.

"Awal PON yang saya ikuti saya turun di lari gawang dan saat itu hanya sampai semifinal aja," kenang ibu lima orang anak itu.

Lidya tak langsung menyerah. Baginya kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Sebagai atlet lari Sumut paling berbakat, Lidya pun tak sulit mendapatkan kepercayaan untuk kembali menembus PON.

*Pecah Rekor Dan Jadi Pionir Emas Pertama Atletik Wanita Sumut Di Ajang PON

Ya, PON VIII Jakarta 1973 silam membuat nama Lidya bersinar. Dirinya juga melampaui ekspektasi kala itu. Siapa sangka, Lidya yang sebelumnya pelari gawang, kali ini turun di kelas 400 meter dan 800 meter.

Lidya tak diduga berhasil menyabet medali emas dengan catatan waktu 60 detik, pada lintasan 400 meter. Catatan waktunya juga sekaligus memecahkan rekor atas nama Suratmi pada PON VII Surabaya 1969.

"Saat itu saya turun di dua kelas, jarak pendek 400 meter dan menengah 800 meter. Tapi di 800 meter saya hanya berhasil meraih perunggu," ujarnya.

Catatan lain yang cukup membanggakan adalah, Lidya menjadi pionir emas pertama Sumut pada cabor atletik pada ajang PON setelah puasa gelar selama 20 tahun atau terkahir kalinya pada 1953, saat Sumut menjadi tuan rumah.

Lidya terus menorehkan prestasinya. 1974 dan 1975 dirinya kembali meraih emas di ajang Kejuaraan Nasional.

Sayang, di level internasional Lidya belum mampu berbuat banyak. Dirinya hanya mampu menembus babak semifinal di Piala Asia yang berlangsung Filipina.

12 tahun berkarir di atas lintasan, Lidya pun menemukan tambatan hati dan memilih gantung sepatu serta melanjutkan karirnya sebagai seorang pelatih dan ibu rumah tangga.

*Stadion Teladan, Saksi Bisu Kisah Asmara Si Pelari Kebanggan Sumut dan Kiper PSMS

Lidya yang kerap melakukan latihan di lintasan lari Stadion Teladan tak sengaja menemukan tambatan hatinya almarhum Syafruddin Jaya.

Kala itu alm Syafruddin Jaya merupakan kiper PSMS yang juga menggelar latihan di Stadion Teladan. Intensitas pertemuan menghantarkan mereka ke pelaminan. Hingga akhirnya memiliki lima orang anak.

Kebersamaan dirinya dan alm Syafruddin Jaya melengkapi keluarga besar atlet dalam kehidupannya.

Kisah Lidya setidaknya menjadi penghantar semangat baru bagi para atlet wanita Sumut yang hingga kini masih minim prestasi.

Mampukah Sumut melahirkan sosok Lidya baru menatap perhelatan PON 2024 yang akan dilangsungkan di Aceh dan Sumut nanti?

"Susah. Karena saya lihat saat ini masih besar isme pengurus kita di sini. Harusnya jika ingin maju kita bisa profesional, karena ini kan membawa nama besar Sumut tentunya jangan ada mengedepankan kepentingan dan ego. Jika ini bisa dilakukan tak menutup kemungkinan kita mendapatkan atlet berprestasi," ujar Lidya mengakhiri pertemuan malam itu. (*)

Penulis: Kesuma Ramadhan

Baca Juga