
MEDANSPORT.ID – MEDAN – Kolonialisme Belanda di Indonesia, yang berlangsung dari abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, adalah masa penjajahan yang membawa dampak besar di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga budaya.
Salah satu yang terjadi adalah terjadinya pernikahan campuran antara warga Belanda dan warga Indonesia.
Selain itu juga muncul istilah blijvers. Blijvers adalah istilah untuk menyebut orang-orang Eropa yang menetap secara permanen di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Istilah ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti “orang yang tinggal”.
Belakangan para keturunan dari perkawinan campuran dan blijvers ini banyak berkecimpung di pentas sepakbola Belanda. Dan kini para keturunan tersebut banyak yang memilih membela Timnas Indonesia.
Jay Idzes, Thom Haye, Justin Hubner, Eliano Reijnders, Calvin Verdoonk, Rafael Struick, Sandy Walsh, Kevin Diks, Joe Pelupessy, Ragnar Oratmangoen, Mauro Zijlstra dan Miliano Jonathans adalah contoh pemain diaspora yang memilih membela Indonesia berdasarkan pertalian darah dari orang tua maupun kakek dan neneknya yang berasal dari Indonesia.
Sedangkan Maarten Paes dan Ole Romeny adalah pemain diaspora yang memilih membela Timnas Indonesia karena nenek mereka berstatus “Blijvers”
Di masa lalu cukup banyak pesepakbola sukses Belanda yang berdarah Indonesia meraih kesuksesan dalam karir sepakbola mereka.Di era 70-an dan awal 80-an muncul sosok Simon Tahamata.
Di era akhir 80-an hingga pertengahan 90-an muncul sosok Ruud Gullit yang selain berdarah Suriname juga memiliki darah Maluku dari ayahnya.Reputasi hebatnya di AC Milan dan Timnas Belanda tidak usah diragukan lagi.
Ruud Gullit bahkan memenangkan Ballon d’Or pada tahun 1987 dan dinobatkan sebagai World Soccer Player of the Year pada tahun 1987 dan 1989.
Ruud Gullit juga sukses sebagai Kapten Timnas Belanda yang memimpin rekan – rekannya membawa Belanda menjadi Juara Piala Eropa (Euro) 1988 di Jerman.
Setelah era Gullit muncul beberapa bintang berdarah Indonesia lagi yang bersinar di Belanda dan Eropa seperti Giovanni Van Bronckhorst dan Roy Makaay. Jika Van Bronckhorst selalu jadi pilihan utama di Timnas Belanda maka Makaay justru kurang bersinar di Timnas Belanda walau ketajamannya bersama Deportivo La Coruna dan Bayern Muenchen sangat dikagumi pada masa itu.
Roy Makaay memiliki darah Indonesia dari ibunya yang beretnis Maluku. Roy Makaay mengawali karirnya di Belanda bersama klub Vitesse Arnhem pada 1993 – 1997. Kemudia pada tahun 1997 Makaay pindah ke Spanyol dan bergabung dengan Tenerife hingga tanun 1999.
Ketajamannya di Tenerife membuat klub Spanyol lainnya Deportivo La Coruna merekrutnya pada tahun 1999. Makaay diperkirakan bakal mampu menggantikan peran besar legenda Brazil Bebeto yang pernah sukses bersama Deportivo La Coruna pada 1992-1996.

Musim 1999/2000 yang merupakan musim awalnya di Deportivo La Coruna Makaay sukses membawa La Coruna menjadi Juara Liga Spanyol (La Liga) dengan menaklukkan 2 raksasa La Liga Real Madrid dan Barcelona.
Makaay bahkan menjadi top skor La Coruna musim 1999/2000 dengan torehan 22 gol. Torehan ini menempatkan Makaay di peringkat 3 top skor Liga Spanyol musim 1999/2000. Hingga kini gelar juara La Liga 1999/2000 adalah satu – satunya gelar juara La Liga yang diraih La Coruna.
Prestasi ini membuat Makaay dipanggil Frank Rijkaard memperkuat Belanda di Euro 2000. Sayang dirinya kalah bersaing dengan Dennis Bergkamp dan Patrick Kluivert sehingga lebih banyak tampil sebagai pengganti.
Sempat tenggelam seusai Euro 2000 dan kemunculan Diego Tristan di La Coruna,Makaay kembali meledak bersama La Coruna di musim 2002/2003. Makaay sukses menjadi top skor La Liga musim 2002/2003 dengan torehan 29 gol dan membawa La Coruna di peringkat 3 klasemen La Liga.
Torehan 29 gol ini membuat Makaay sukses meraih “European Golden Shoe” musim 2002/2003. Makaay menjadi pesepakbola Belanda ke-4 yang meraihnya sesudah Kees Kist (1978/1979),Wim Kieft (1981/1982) dan Marco Van Basten (1985/1986).
Makaay bahkan tercatat hingga kini sebagai satu – satunya pesepakbola berdarah Indonesia yang meraih “European Golden Shoe”.
Setelah 4 tahun memperkuat La Coruna dengan torehan 181 kali tampil dan 97 gol Makaay pindah ke klub elit Jerman Bayern Muenchen pada tahun 2003.
Torehan 97 gol ini membuat Roy Makaay tercatat sebagai top skor ketiga sepanjang masa Deportivo La Coruna di bawah Diego Tristan (109 gol) dan Bebeto (100 gol).
Bayern Muenchen sendiri tertarik merekrut Roy Makaay setelah melihat ketajaman Makaay bersama La Coruna yang membuat Muenchen tidak berkutik di penyisihan grup Champions League 2002/2003.
Pada pertemuan pertama yang berlangsung 18 September 2002 di Olympia Stadion Muenchen Makaay menunjukkan keganasannya membawa La Coruna menaklukkan Muenchen 3-2. Saat itu, Makaay mencetak tiga gol untuk membawa Deportivo menang dengan skor 3-2. Makaay menjadi pemain pertama yang mencetak hattrick ke gawang Bayern Muenchen di Champions League.
Pada pertemuan kedua 29 Oktober di Estadio Riazor La Coruna Muenchen kembali takluk 1-2 dari La Coruna.Salah satu gol La Coruna dicetak oleh Roy Makaay.
Ketajaman Makaay ini membuat pelatih Muenchen saat itu Ottmar Hitzfeld tertarik untuk merekrutnya. Dan akhirnya di akhir musim 2002/2003 Makaay bergabung dengan Bayern Muenchen dengan nilai transfer sebesar €18,75 juta yang merupakan rekor transfer terbesar Muenchen saat itu.
Sinarnya kian terang bersama Bayern Muenchen.Makaay berperan besar membawa Muenchen Juara Liga Jerman (Bundesliga) dan DFB Pokal musim 2004/2005 dan 2005/2006.
Di Bayern Muenchen Makaay mendapat julukan Das Phantom (Sang Hantu), karena kemampuannya untuk mencetak gol dari berbagai posisi dan Tormaschine (mesin gol), karena kemampuannya yang konsisten untuk membobol gawang lawan.
Pada tanggal 29 September 2004, Makaay mencetak tiga gol dalam kemenangan 4-0 atas Ajax di babak penyisihan grup Champions League. Catatan ini menempatkan Makaay dalam catatan khusus salah satu pencetak hatrik di Champions League bersama dua klub berbeda. Sosok lain yang tercatat khusus tersebut adalah : Filippo Inzaghi, Andriy Shevchenko, Didier Drogba, Samuel Eto’o, Marco Simone, Michael Owen, Ruud Van Nistelrooy dan Robert Lewandowski..
Pada tanggal 7 Maret 2007, Makaay mencetak gol tercepat dalam sejarah Liga Champions, mencetak gol saat pertandingan berlangsung 10,12 detik untuk membantu Bayern Muenchen membalikkan defisit leg pertama dan menyingkirkan Real Madrid di babak 16 besar Liga Champions musim 2006/2007.
Hingga kini gol yang dicetak Makaay ini adalah gol tercepat di Champions League.
Total 78 gol dicetak Makaay di Bundesliga dan 17 gol di Champions League selama memperkuat Muenchen pada 2003 – 2007. Pada musim 2007/2008 Makaay kembali ke Belanda dan memperkuat Feyenoord hingga musim 2009/2010. Bersama Feyenoord Makaay meraih Juara Piala KNVB 2008.

Sayang walau menjadi salah satu striker top Eropa pada awal hingga pertengahan 2000-an Makaay kurang bersinar bersama Timnas Belanda. Keberadaan Dennis Bergkamp, Patrick Kluivert, Ruud Van Nistelrooy, Pierre Van Hooijdonk dan Jerrel Hasselbaink membuat Makaay seperti tenggelam dalam persaingan di Timnas Belanda walau secara kualitas Makaay tidak kalah dari mereka.
Meskipun begitu di Euro 2004 Makaay sempat tampil membela Belanda dan mencetak gol dalam kemenangan Belanda atas Latvia di penyisihan grup dan mencetak gol dalam drama adu penalti saat Belanda menyingkirkan Swedia di 8 Besar.
Sayang perselisihannya dengan Marco Van Basten membuat dirinya tidak dilirik memperkuat Belanda di Piala Dunia 2006 yang digelar di Jerman walau saat itu dirinya sukses bersama Bayern Muenchen di Bundesliga.
Pada tahun 2008, Makaay dipilih pelatih Foppe De Haan sebagai salah satu dari tiga pemain senior bersama Kew Jaliens dan Gerald Sibon memperkuat Belanda di Olimpiade 2008 di Beijing , di mana ia menjadi kapten tim. Belanda sukses lolos hingga babak 8 besar.Namun di babak 8 besar Belanda takluk 1-2 dari Argentina yang saat itu diperkuat Lionel Messi yang akhirnya meraih Medali Emas.
Tahun 2010 Makaay memutuskan “gantung sepatu” dari dunia sepakbola.
Prestasi hebat Roy Makaay yang berdarah Indonesia tentu sangat mengagumkan walau dirinya kurang bersinar di Timnas Belanda. Makaay sendiri dalam beberapa kesempatan menyebut tidak lupa dengan Maluku yang merupakan tanah leluhurnya.