*Kisah Mardi Lestari ‘Orang Tercepat Di Asia’
Coba Menjelajah Waktu Kala Mengenang Kesuksesan Dari Teras Rumah

MEDANSPORT.ID- Sosoknya tak sekuat dulu lagi. Saat masa kejayaannya mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Saat di mana pula dirinya mendapat julukan sebagai manusia tercepat di Asia. Julukan yang didapat lewat kehebatannya melahap lintasan lari 100 M pada perhelatan PON 1989.
Ya, bernama lengkap Afdiharto Mardi Lestari atau lebih akrap dipanggil Mardi Lestari. Sosok yang begitu tenar akan kesuperiorannya di atas lintasan lari jarak pendek.
Mardi, meraih Emas PON 100 M dengan catatan waktu 10,20 detik yang sekaligus memecahkan Rekor Asia atas nama Li Tao (RRC) 10,26 detik. Bahkan, sampai saat ini rekor PON itu belum mampu dipecahkan atlet sprinter manapun.
Prestasi yang tak kalah fenomenal yakni saat dirinya bertanding dalam perhelatan Olimpiade 1988 di Seoul. Saat itu Mardi mencatat waktu 10,32 Detik yang sekaligus memecahkan Rekor Nasional atas nama Purnomo 10,33 Detik
Lewat kerja keras dan keyakinan juga, sprinter kebanggan Sumut ini bahkan berhasil menembus babak semifinal di Seoul 1988 lalu.
Mardi pun menjadi orang Indonesia kedua yang berhasil menembus babak semifinal cabor atletik lari setelah sebelumnya ada nama Purnomo yang berhasil melaju ke babak semifinal Olimpiade 1984. Hingga kini belum ada lagi pelari Indonesia yang tembus Semifinal Olimpiade selain dua nama ini.
Berjuang di Olimpiade 1988, saingan utama Mardi merupakan 3 pelari top dunia, Ben Jhonson, Carl Lewis dan Calvin Smith. Hingga akhirnya, Carl Lewis berhasil menasbihkan diri sebagai yang tercepat di atas lintasan, setelah Ben Jhonson didiskualifikasi karena doping.
Tapi itu kisah dulu. Kisah di mana dirinya juga berhasil menyabet medali emas pada tiga even Sea Games berturut-turut.
Yakni 1989 (Kuala Lumpur) Mardi berhasil menyabet dua emas dari cabor lari 100 M dan 200 M. 1991 Mardi juga mengulang kesuksesannya dengan meraih emas cabang lari 100 M. Terakhir, emas kembali ditorehkan pada ajang yang sama di Singapura 1993.
Kini, Mardi tak sesuperior dulu. Jangankan berlari, jalan pun Mardi harus tertatih. Riwayat komplikasi penyakit yang dideritanya, dari kelenjar getah bening, gangguan hati dan ginjal memaksanya untuk lebih banyak berdiam diri di rumah.
Pasrah dan mengalah dengan penyakit? tentu bukan tipikalnya. Mardi tetap semangat berjuang melawan penyakitnya. Sama seperti saat dirinya mengisahkan perjuangan meraih kejayaan di kancah internasional.
Hal itu tertuang dalam percakapan yang mengalir saat tim Medansport.id menyambangi kediamannya, di kawasan Jalan Jaya Wijaya, Binjai Selatan, Jumat (9/7/2021) sore kemarin.
Dari teras rumahnya, Mardi pun begitu antusias saat coba menjelajah waktu era 80 an dengan kembali mengingat dirinya memulai karir hingga mencapai puncak keemasan.
Sebagai anak dengan keberadaan ekonomi yang serba pas-pasan, Mardi dulunya tak banyak meminta dan terlalu berharap kepada kedua orang tuanya.
Beruntung kepiawaiannya berlari sering membawanya menjuarai sejumlah kejuaran di kampung. Apalagi saat 17 Agustus. Tanggal itu begitu istimewa baginya. Sejumlah hadiah dan piala dibawa pulang ke rumah. Bakatnya pun mulai tercium oleh Abang kandungnya, M Nurli B.A.
Sebagai guru olahraga di sekolah yang sama di tempat Mardi mengenyam pendidikan, abangnya Nurli kerap melatihnya. Dengan alat seadanya, dan gang di depan rumah sebagai media tempat berlatih, tak menyurutkan semangat Mardi kala itu.
Hingga akhirnya, Mardi berkesempatan mengikuti kejuaran antar pelajar tingkat nasional pada 1986 atau tepat saat awal karirnya melejit.
Sebagai pelari pemula bakatnya pun tercium oleh pelatih nasional. Dirinya ditempah di Jakarta dan berhasil membawa sejumlah prestasi.
"Saya lama di Jakarta. Di sana saya dilatih dan terus dilatih. Dari awalnya meraih Perak di Sea Games Jakarta pada 1987, lalu meraih dua emas di PON XII (1989) untuk cabor lari 100 M dan 200 M dan satu emas pada PON XIII (1993) untuk cabor lari 100 M ," terangnya.
Tak sampai di situ karirnya terus melejit dengan selalu meraih emas pada tiga even Sea Games. Bahkan, Mardi pun berhasil melaju ke babak semifinal Olimpiade.
"Lawan saya posturnya tinggi dan besar. Tapi saya tak gentar. Walau akhirnya cuma berhasil masuk semifinal dan berada di peringkat 7 dunia kala itu," kenang atlet bertinggi 166 cm dan berat 63 kg itu.
Kini, kejayaan Mardi tinggal kenangan. Sumut tak lagi melahirkan sosok atlet sepertinya. Prihatin, itu pasti. Mardi pun menyayangkan, puluhan tahun penantian hadirnya sosok sprinter baru di Sumut hanya menjadi bunga mimpi dalam tidurnya.
*Mardi Lestari, Penemuan Bakat Yang Tak Disengaja
Akankah harus menunggu momen ketidaksengajaan untuk kembali mengulang kejayaan sprinter kebanggan Sumut itu? Pertanyaan itu hadir dari Muhammad Nurli.
Nurli tak menampik jika dirinya secara tak sengaja melihat bakat sang adik. Hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk mengasah bakat yang terpendam itu dan menjadikannya bak pisau tajam yang mampu memotong semua lawannya di atas lintasan.
"Awalnya saya melihat bakat itu dan coba mengasahnya. Alhamdulillah dia (Mardi) serius berlatih bersama saya. Walau dengan keterbatasan meminjam alat ke sana kemari, tapi dia tak manja karena dia punya mimpi besar ingin menjadi pelari hebat dan terkenal," sebut Nurli.
Keinginan yang sama pun hadir, semoga penantian panjang menghadirkan Mardi-Mardi baru di Sumut tak harus menunggu ketidaksengajaan melainkan melalui pembinaan atlet yang dimiliki lembaga resmi di setiap kota. (*)